Rumah Kenangan di Hancurkan, Waluyo Marah

EXPOSEINDONESIA.COM, Surabaya – Waluyo Yasin warga Pandegiling Surabaya, mempertanyakan akan digusurnya tanah yang diakui miliknya. bahkan di katakannya, ia tak pernah merasa menjual tanah dengan luas 3.800 Meter Persegi tersebut.

Hal itu dikatakan kepada media Exposeindonesia.com, diceritakan Waluyo sapaan akrabnya, bermula ia baru pulang dari Ternate, Maluku Utara, 2019 lalu. Sesampainya di Surabaya, ia melihat rumah masa kecilnya sudah rata dengan tanah. Rumah itu berada di Jalan Pandegiling, Surabaya.

“2018 lalu saya merantau. Niatnya mau bekerja diluar. Saya kembali ke Surabaya saya lihat rumah induk tempat saya kecil bersama orangtua saya sudah tidak ada.

Walaupun, memang saya sudah lama tidak tinggal disitu,” kata pemilik tanah, Waluyo kepada Expose Indonesia , Senin (22/2).

Tanah itu luasnya 3.800 meter per segi. Tanah itu hanya memiliki Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT). Nama yang tertera di surat tersebut sebenarnya bukan nama Waluyo.

Melainkan nama kakeknya Yaitu Reboe.

Dulunya, tanah tersebut milik Belanda lalu diserahkan kepada Reboe. Setelah itu, baru dibuatkan SKPT atas nama dirinya

(Reboe). Namun tanah tersebut diwariskan kepada beberapa anaknya. Termasuk Yasin yang merupakan bapak dari Waluyo.

Bahkan, Yasin pun membeli tanah warisan milik saudaranya. Sehingga, luasan tanah di Jalan Pandegiling seluas 3.800 meter itu sepenuhnya milik Yasin. “Saya mau membuat sertifikatnya tapi belum ada uang. Jadi, saya biarkan saja dulu menggunakan SKPT,” ungkapnya.

Setelah Yasin meninggal, tanah tersebut diberikan kepada Waluyo. Ia merupakan anak terakhir dari lima bersaudara. Setelah melihat rumahnya dibongkar, dirinya mendatangi notaris bernama Lusi yang disebut-sebut menangani akta jual beli tanah itu. Padahal ia merasa tidak pernah menjualnya.

“Sampai saya di kantor notaris itu, saya diberikan uang. Saya dipaksa untuk menandatangani surat jual beli tanah tersebut. Tapi, saya tidak mau. Saya ingin bertemu dengan orang yang membeli tanah saya itu. Yaitu Fanny Halim,” tambahnya.

Berjalannya waktu, Waluyo pun bertemu dengan Fanny. Sempat berdiskusi. Namun, karena Waluyo masih kecewa karena rumah mereka dibongkar, pertemuan itu tidak menemukan penyelesaian. Pun, notaris tersebut mengajak Waluyo kembali bertemu.

“Saya diajak ketemu di rumah makan. Saya memenuhi undangan itu. Sesampainya di sana, Fanny tidak bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan. Kalau surat-surat saya sengaja saya sembunyikan dulu,” katanya lagi.

Lalu, Lisa Rahmad sebagai penasihat hukum Fanny menjebatani masalah tersebut. Berjalannya waktu, Hadi malah memberikan somasi kepada Waluyo. Hadi ini merupakan Suami dari Lisa. Awal kasus ini memang Hadi yang menangani. Karena, ia juga merupakan seorang advokat.

“Tiga kali saya disomasi. Saya minta ketemu lagi sama bu Fanny. Tapi gak kunjung jadi,” ucapnya. Karena sudah kelamaan, akhirnya Waluyo sendiri yang berinisiatif untuk bertemu dengan Fanny. Sayangnya, Fanny malah tidak mau membukakan pintu rumahnya untuk bertemu.

Waluyo kembali bertemu dengan Hadi. Dirinya meminta izin untuk membongkar pagar di lokasi tanah itu. “Sebelum saya membongkar pagar didepan itu, saya minta izin dulu ke suami Lisa.

Ia mengiyakan saat itu. Ya saya langsung membongkar gerbang besi dan pagar,” jelasnya.

Sempat ada mediasi setelah pembongkaran pagar tadi. Dari hasil mediasi tersebut, memutuskan kalau tidak ada lagi kegiatan apapun di tanah itu. Sehingga dibangunlah pagar dari seng. Serta gerbang yang juga terbuat dari bahan yang sama.

Tensi kembali meninggi setelah Waluyo merusakkan pagar seng tadi. Sikap itu bukan tanpa alasan. Ia marah karena, pagar beton sepanjang 88 meter yang membelah tanah itu juga dirusak oleh Fanny. Sehingga, ia kembali merusak pagar seng itu.

Tindakan itu ternyata membuat Fanny marah. Pun akhirnya Waluyo dilaporkan ke Polda atas tindakan tersebut.

“Saya dilaporkan karena merusak pagar seng itu. Hari rabu saya dipanggil ke Polda untuk dimintai keterangan,” ungkapnya.

Rencananya, Waluyo akan membangun pasar di tanah tersebut. Pasar itu akan diberi nama Reboe.

Memang saat ini belum memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM). Karena ia tidak memiliki uang yang cukup. “Masih ngumpulin uang mas,” celetuknya.

Sementara itu, Lisa membantah kalau suaminya pernah memberikan somasi ke Waluyo. Menurutnyi, Hadi tidak pernah ikut campur masalah tersebut. “Tidak pernah sekalipun,” katanya singkat.

Dia mempertegas kalau Fanny mempunyai legalitas atas tanah tersebut.

“Kalau SKPT itu apakah kuat sebagai kepemilikan? Client saya malah punya SHM nya. Dan administrasi lainnya. Yang mana lebih kuat? Lagipula, tidak ada nama Waluyo dalam surat itu. Kalau dibilang tidak ada jual beli, kenapa dari dulu gak digugat. Kenapa baru sekarang ia muncul,” ucapnya.

Dia juga membenarkan kalau saat ini memang kasus pengrusakan pagar sudah dilaporkan ke Polda Jatim. Bahkan dengan tegas kalau suaminya tidak pernah memberikan ijin untuk merobohkan pagar tembok itu. “Kapan kami berikan izin?,” celetuknya. (Mochamad Syahril)

Grafis:
27 Januari 2021 Waluyo melakukan pengrusakan pintu gerbang besi

28 Januari 2021 Waluyo membongkar pagar tembok

29 Januari 2021 Waluyo dan Fanny melakukan mediasi

30 Januari 2021 pagar seng dibangun kembali

2 Februari 2021 Waluyo kembali merusak pagar seng

Print Friendly, PDF & Email
www.domainesia.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *